Meningkatkan Rasio Elektrifikasi di Daerah 3T dengan Green Technology Of Clay (GTC)
Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari 16.506 pulau yang sudah diberi nama dan terverifikasi, pengukuhan ini dilaksanakan pada konferensi ke-11 sidang UNCSGN (United Nations Conference on the Standardization of Geographical Names). Kondisi geografis Indonesia yang kepulauan, pegunungan, dan pola pemukiman penduduk yang menyebar, menimbulkan permasalahan dalam distribusi energi listrik. Tak bisa dipungkiri bahwa energi listrik adalah komoditas strategis yang seluruh sistem dan dinamika kehidupan manusia dan negara tergantung kepada energi listrik sebagai urat nadi kehidupan pada semua sektor. Oleh karena itu perlu dimanfaatkan sumber pembangkit listrik alternatif yang tersedia di daerah setempat untuk memenuhi kebutuhan energi listrik bagi masyarakat di daerah 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal), yang bersumber dari energi baru dan terbarukan (renewable energy).
Permasalahan yang muncul di daerah 3T bukanlah suatu trending topic lagi. Layanan pemerintah yang susah terjangkau hingga daerah 3T menjadikan suatu kesenjangan antara masyarakat perkotaan dan daerah 3T. Minimnya layanan pemerintah di daerah 3T menjadikan daerah ini terbelakang dan susah untuk maju dan berkembang. Indonesia akan memasuki era perdagangan bebas internasional pada tahun 2020. Pada tahun ini, diharapkan Indonesia mencapai target kemandirian dalam segala aspek bidang sehingga bangsa Indonesia bisa bersaing dengan bangsa lain. Pada tahun 2030, Indonesia menjalankan tujuan pembangunan berkelanjutan atau yang lebih dikenal dengan Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai tindak lanjut dari kemandirian segala aspek bidang pada tahun 2020.
Lantas, bagaimana solusi dalam pemerataan layanan pemerintah utamanya dalam layanan energi listrik?
Berdasarkan data Statistik Ketenagalistrikan 2015, Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan rasio elektrifikasi Indonesia pada tahun 2011 – 2015 yaitu 72,95% menjadi 88,30%. Pada tahun 2017, rasio elektrifikasi Indonesia yaitu 92,80%, angka ini melampaui target yang telah ditetapkan untuk akhir tahun 2017 oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, yaitu sebesar 92,75%. Meskipun terjadi peningkatan rasio elektrifikasi di setiap tahunnya, tetapi masih ada beberapa daerah yang rasio elektrifikasinya masih di bawah 70%. Propinsi Papua dan Nusa Tenggara Timur menjadi wilayah dengan rasio terendah, yakni masing-masing sebesar 48,74% dan 59,17%.
Upaya yang telah dilakukan perintah dalam pemenuhan energi listrik untuk daerah 3T, yaitu melalui pembagian gratis Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) selama tahun 2017 – 2018. Lampu ini setara dengan 40 watt lampu pijar, tahan nyala selama dua hari, serta bisa dicopot dari gantungannya untuk dibawa menjadi senter. Selain itu, pemerintah juga membagikan 2000 unit Konkit (Konverter Kit) BBM ke BBG gratis bagi nelayan kecil di Lombok Timur pada tahun 2017. Upaya ini diharapkan bisa menjadi program pemerataan energi listrik di seluruh wilayah Indonesia untuk merealisasikan Indonesia mandiri dalam bidang energi untuk menuju SDGs 2030.
Program pemerintah dalam rangka mewujudkan kemandirian energi nasional bukan suatu hal yang mustahil. Indonesia dengan segala kekayaan alam di dalamnya memiliki potensi besar sebagai sumber Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Pengembangan EBT harus didukung oleh semua lapisan masyarakat, pengembangan ini bisa dilakukan pada potensi daerah setempat yang telah atau belum dikembangkan secara maksimal. Indonesia harus segera beralih pada EBT karena dalam 20 tahun mendatang, cadangan energi fosil akan semakin menipis bahkan habis.
Elektrifikasi di Daerah 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal)
Daerah 3T adalah daerah pulau-pulau terdepan dan terluar serta daerah-daerah yang tertinggal. Pulau terdepan dan terluar merupakan kawasan di perbatasan Indonesia dengan negara lain maupun pulau-pulau terluar Indonesia, sedangkan daerah tertinggal merupakan daerah yang jauh dari akses, baik transportasi maupun komunikasi. Hal ini menjadi penyebab sulitnya upaya pemerataan elektrifikasi, karena jauhnya jarak yang harus ditempuh untuk mencapai pusat pemerintahan.
Berdasarkan data Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia pada tahun 2015, daerah tertinggal pada pulau Jawa dan Bali yaitu pada Propinsi Jawa Timur terdiri dari Bangkalan, Situbondo, Bondowoso dan Sampang, Propinsi Banten terdiri dari Lebak dan Pandeglang. Urutan daerah 3T di luar pulau Jawa dan Bali yaitu Papua, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, Sumatera dan Kalimantan.
Rasio elektrifikasi nasional pada bulan Juni tahun 2017 yaitu 92,80%. Terdapat dua daerah 3T yang masih memiliki rasio di bawah 70%, yaitu Papua sebesar 48,74% dan Nusa Tenggara Timur sebesar 59,17%. Berikutnya beberapa pulau yang masih memiliki rasio elektrifikasi pada kisaran 70% – 80%, yaitu Kalimantan Tengah sebesar 75,76%, Sulawesi Tenggara sebesar 76,79%, Kepulauan Riau sebesar 76,97%, dan Nusa Tenggara Barat sebesar 79,93%. Hal ini menunjukkan bahwa secara mayoritas, masyarakat di daerah 3T yang menikmati layanan listrik masih di bawah rata-rata nasional. Minimnya elektrifikasi PLN di daerah 3T mendorong untuk pengembangan potensi sumber energi listrik alternatif (non PLN) dan dalam jangka panjang bisa diproduksi secara massal untuk pemenuhan energi listrik nasional.
Sumber energi listrik alternatif yang telah dikembangkan berdasarkan potensi daerah setempat yaitu Pembangkit Tenaga Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH), Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLT Bayu) dan Pembangkit Listrik Tenaga Laut (PLT Laut). Sumber energi listrik ini adalah sumber energi baru dan terbarukan (EBT). Potensi ini perlu dikembangkan dan dikaji lebih lanjut untuk pengaplikasian yang maksimum sehingga bisa tercapai ketahanan energi nasional untuk mewujudkan SDGs 2030. Penggunaan EBT yang merupakan potensi lokal akan menjamin ketersediaan energi sehingga mengurangi ketergantungan terhadap BBM. Pengembangan EBT berdasarkan potensi daerah setempat bisa meningkatkan rasio elektrifikasi nasional.
PLTMH tersebar di Indonesia dengan total perkiraan sampai 75.000 MW, sementara pemanfaatannya masih sekitar 11% dari total potensi. PLTMH telah dikembangkan di daerah Bima, Ambon, Malang, Malinau, Kapuas Hulu serta Sukabumi. PLTS tersebar di kawasan barat Indonesia sebesar 4,5 kWh dan di kawasan timur sebesar 5,1 kWh. PLTS telah dikembangkan di Lombok, Bima, Maluku, Papua serta Kalimantan Timur. Daerah-daerah terpencil yang secara geografis susah untuk dijangkau layanan PLN, bisa menikmati elektrifikasi non PLN melalui sumber energi listrik setempat. PLT Bayu tersebar di pulau Jawa dan Sulawesi sekitar 950 MW. PLT Bayu telah dikembangkan di daerah Bali, Bangka Belitung, Nusa Penida, Pulau Selayar, serta Sulawesi Utara. Pada daerah-daerah yang secara geografis merupakan daerah curah angin yang tinggi sangat potensi untuk penggunaan PLT Bayu ini. PLT Laut yang bersumber dari arus laut memiliki potensi sebesar 17,9 GW, dari energi gelombang sebesar 1,9 GW dan dari panas laut sebesar 41 GW. PLT Laut yang potensi untuk dikembangkan yaitu di Selat Riau, Sunda, Toyapakeh, Lombok, Alas, Molo, Larantuka, Pantar, Boleng, Mansuar Raja Ampat.
Patriot sebagai Program Pemerintah untuk Pemerataan Energi
Patriot atau Penggerak Energi Tanah Air (PETA) adalah sebuah gerakan yang mengirimkan lulusan terbaik Indonesia untuk datang ke daerah 3T dan mengembangkan sumber Energi Baru dan Terbarukan (EBT) berbasis potensi daerah setempat. Patriot bertugas untuk membangun membangun pola pikir masyarakat akan pentingnya pengembangan EBT dan bagaimana cara pengaplikasiannya. Visi dari Patriot adalah meningkatkan modal sosial masyarakat dengan menerapkan EBT berbasis masyarakat yang berkeadilan sosial guna mewujudkan kedaulatan energi bangsa. Sedangkan, misinya adalah mengimplementasikan EBT berbasis masyarakat, dengan memanfaatkan sumber energi setempat guna meningkatkan modal sosial masyarakat.
Ada beberapa strategi yang dilakukan dalam pelaksaan program Patriot, antara lain memanfaatkan sumber energi setempat untuk menciptakan listrik berbasis energi terbarukan, menciptakan dan mengatur sistem pengelolaan pembangkit yang berbasis masyarakat, serta menerapkan dan mengatur sistem pemanfaatan energi yang menghasilkan aktivitas ekonomi yang produktif. Strategi selanjutnya adalah mengumpulkan pemuda-pemudi Indonesia yang mau bergerak untuk masyarakat, serta mencetak dan membentuk pemuda-pemudi Indonesia menjadi patriot-patriot muda yang mampu bersama-sama masyarakat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berkesinambungan untuk menciptakan energinya sendiri menuju kedaulatan energi bangsa.
Program Patriot dibentuk pada pertengahan tahun 2015 oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Pada 21 Oktober 2015, Patriot angkatan perdana diberangkatkan menuju lokasi penempatan masing-masing di seluruh penjuru pelosok tanah air. Lokasi penempatan terbagi dalam tiga zona, yaitu zona barat, zona tengah, dan zona timur Indonesia. Ketiga zona ini termasuk di dalam kategori daerah 3T, yang susah dijangkau secara transportasi dan komunikasi. Minimnya akses menuju daerah 3T menjadikan daerah ini kekurangan sarana dan prasarana dalam bidang ekonomi, sosial, pendidikan dan kesehatan.
Harapan dengan adanya program Patriot adalah masyarakat di daerah 3T bisa menjadi masyarakat yang mandiri dalam bidang energi. Patriot berperan sebagai aktivator eksternal yang akan mendampingi dan membimbing masyarakat di daerah 3T dalam mengembangkan dan memaksimalkan potensi EBT sebagai energi berkelanjutan. Sebelum Patriot diterjunkan langsung ke dalam masyarakat di daerah 3T, ada beberapa kompetensi yang wajib dikuasai, Patriot mengikuti serangkaian pelatihan untuk penguasaan kompetensi tersebut. Kompetensi yang wajib dikuasai Patriot ada empat, diantaranya kompetensi kejuangan, kompetensi keteknikan, kompetensi pembangunan berbasis masyarakat dan yang terakhir adalah yang paling vital, yaitu kompetensi keikhlasan.
Kompetensi kejuangan diberikan kepada pejuang Patriot berupa latihan fisik, yaitu ketahanan fisik dan mental untuk bertahan di dalam hutan selama 6 hari. Kompetensi ini penting untuk dikuasai oleh Patriot, mengingat daerah 3T yang akan mereka tuju adalah daerah yang secara geografis susah untuk dijangkau dan berupa medan yang terjal. Kompetensi yang kedua adalah kompetensi keteknikan, dalam hal ini Patriot dibekali ilmu secara detail mengenai EBT, seperti PLTS, PLTMH dan PLT Bayu. Potensi daerah setempat berbeda-beda, sehingga Patriot perlu menguasai teknik pengembangan beberapa pembangkit listrik alternatif. Melalui pembekalan ini, Patriot bisa menganalisis potensi EBT daerah setempat dan mengembangkannya.
Kompetensi yang ketiga adalah pembangunan berbasis masyarakat, disinilah peran Patriot sebagai aktivator eksternal. Melalui pembekalan kompetensi ini, Patriot bisa mengajak masyarakat untuk mengidentifikasi masalah yang ada di daerah mereka serta bersama-sama mencari sebuah solusi dari permasalahan tersebut. Patriot mengajarkan kepada masyarakat mengenai pengembangan EBT sesuai potensi daerah setempat. Sehingga bukan menjadi masalah lagi apabila daerah yang tidak terjangkau oleh layanan PLN tidak bisa menikmati listrik, karena hal ini sudah tergantikan oleh pembangkit listrik alternatif berbasis potensi daerah setempat. Kompetensi yang terakhir adalah kompetensi keikhlasan. Kompetensi ini adalah kompetensi terpenting dan menjadi ruh dalam kesuksesan program Patriot. Kompetensi ini mengajarkan bagaimana cara mensinergikan hati dan pemikiran dalam menjalankan visi dan misi program Patriot.
Green Technology Of Clay (GTC) sebagai Salah Satu Bentuk Energi Baru dan Terbarukan (EBT) secara Microbial Fuel Cell (MFC)
Tanah liat (clay) adalah tanah dengan tekstur liat dan memiliki permukaan yang luas serta bermuatan listrik. Muatan listrik memberi sifat pada tanah liat untuk dapat mengikat air maupun hara tanaman pada permukaannya. Hal ini menyebabkan tanah liat lebih banyak menyimpan air. Partikel mineral tanah liat biasanya bermuatan negatif sehingga partikel tanah liat hampir selalu mengalami hidrasi, yaitu dikelilingi oleh lapisan-lapisan molekul air yang disebut air teradsorpsi. Pada umumnya ketebalan lapisan ini sebesar dua molekul, sehingga disebut sebagai lapisan ganda atau lapisan difusi ganda. Lapisan difusi ganda adalah lapisan yang dapat menarik molekul air atau kation disekitarnya. Lapisan ini akan hilang pada temperatur 600 sampai 1000 ºC dan akan mengurangi plastisitas alamiah.
Pada hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tanah basah menghasilkan tahanan tanah yang jauh lebih kecil dari pada tanah kering. Sehingga tegangan listrik yang dihasilkan oleh tanah basah lebih besar dibandingkan tegangan listrik dari tanah kering. Tanah liat adalah tanah yang hampir selalu mengalami hidrasi, sehingga apabila tanah liat bisa menghasilkan tegangan listrik yang lebih besar dari pada tanah biasa. Data ini mendukung bahwa tanah liat bisa dijadikan sebagai sumber energi listrik yang terbarukan dan juga ramah lingkungan karena tidak menghasilkan polutan. Sehingga konsep Green Technology of Clay (GTC) bisa menjadi solusi sumber energi alternatif yang baru dan terbarukan untuk merealisasikan Sustainable Development Goals (SDGs) 2030.
Pada dasarnya energi listrik yang dihasilkan dari tanah liat menerapkan prinsip Microbial Fuel Cell (MFC). MFC adalah suatu sistem bioelektrokimia yang memanfaatkan mikroba sebagai biokatalisator. Mikroba berada pada habitat tanah, air dan udara. Mikroba membutuhkan asupan karbon dari medianya untuk metabolismenya. Keberadaan bahan organik di dalam tanah, air maupun udara akan meningkatkan proses metabolisme mikroba. Metabolisme mikroba akan menghasilkan proton (H+) dan elektron. Elektron ini akan mengalir ke dalam sirkuit listrik sehingga akan menghasilkan arus listrik. Apabila dihubungkan dengan multimeter, maka akan terukur tegangan listriknya.
Daerah 3T yang mayoritas berupa pegunungan dan pulau-pulau kecil memiliki kekayaan sawah, ladang, hutan, pantai, hutan bakau serta area tambak. Pada sedimen tanah di dalamnya bisa dikembangkan GTC. Komponen utama yang digunakan pada pengembangan GTC adalah elektroda (anoda dan katoda) serta media tanah liat yang bisa bersumber dari sedimen tambak, sedimen laut (pantai) dan sedimen hutan bakau. Penulis menggunakan sedimen tambak untuk mengembangkan GTC. Elektroda yang digunakan adalah seng sebagai anoda dan tembaga sebagai katoda. Elektroda ini ditanam dalam tanah liat yang berada dalam suatu batch, terdapat 21 batch yang telah digunakan oleh penulis. Antara batch yang satu dengan yang lainnya dirangkai secara seri dan dihubungkan dengan lampu LED serta USB port.
Pengukuran tegangan dilakukan menggunakan multimeter dan tegangan listrik yang dihasilkan sebesar 5,4 volt. Penulis mencoba untuk mengaplikasikan GTC untuk pengisian (charge) handphone. Ketika power on, indikator lampu LED menyala dan terjadi pengisian baterai handphone. Hal ini menunjukkan bahwa GTC sangat potensi untuk dikembangkan sebagai EBT untuk mencapai kemandirian energi nasional. Selain pengembangan GTC pada sedimen tanah di daerah 3T, konsep GTC juga bisa diterapkan untuk limbah industri maupun rumah tangga, hanya saja media clay digantikan oleh media limbah cair. Sehingga konsep GTC juga sesuai apabila dikembangkan di daerah perkotaan yang padat industri.
Baca Juga: 5 Hal Tentang Pengetahuan dan Riset yang Bisa Dilakukan di Kebun Raya Bogor
Â
BekelSego adalah media yang menyediakan platform untuk menulis, semua karya tulis sepenuhnya tanggung jawab penulis. |
I may need your help. I’ve been doing research on gate io recently, and I’ve tried a lot of different things. Later, I read your article, and I think your way of writing has given me some innovative ideas, thank you very much.